Bicara tentang cinta, ya Boy dah
biangnya. Si petualang cinta alias sang play boy ini akan mati-matian dan bila
perlu sampe bersujud untuk merayu dan mendapatkan seorang cewek cantik. Sang
play boy ini tidak akan pernah tahan bila sudah melihat cewek cantik melintas
di depan matanya, seakan matanya tidak akan pernah berkedip untuk terus
mengikuti langkah kaki sang cewek. Ya bila perlu sampe membuntuti dari belakang
(emangnya mau nyopet, Boy?).
Singkat cerita Boy bakalan jungkir balik dah untuk mendapatkan sang cewek bila
sudah naksir banget. Boy kagak perduli apakah nantinya itu cewek bakalan mau
apa nggak? Apakah hubungannya nanti akan berlangsung lama atau nggak? Bagi Boy
kudu mandapatkannya dulu, apapun caranya.
Lantaran cap play boy nya itu, si petualang cinta ini suka gonta ganti cewek
(kayak baju aja Boy, digonta ganti). Tapi sayang dimata cewek-cewek di
sekolahnya kartunya udah mati kagak bisa diperpanjang (kayak KTP aja ah).
Sehingga sang play boy harus berpetuang di tempat lain, kecuali ada anak baru
di sekolah ini yang kagak tahu dengan belangnya Boy.
Awal cerita neh. Pada suatu hari, Boy lagi ngebet banget sama Lila, adik
kelasnya yang baru aja menjadi siswi di sekolahnya. Padahal saat itu, Boy sudah
memiliki gandengan (kayak truk aja pake gandengan segala), si Ivon anak SMU 2.
”Jek, gua naksir banget nih ame anak baru,” kata Boy curhat dengan sobatnya
Jaka yang biasa dipanggil Jek.
”Ah! Elo kagak boleh melihat barang baru apalagi yang cantik-cantik dan
mulus-mulus,” jawab Jek. ”Tuh! Ada yang mulus, kenapa kagak lo embat aja
sekalian?” lanjut Jek sambil tertawa menunjuk ke arah Pak Didin, guru Fisika
yang jidatnya emang rada botak licin.
”Bercanda lu ah! Gua serius nih,” gerutu Boy.
Untuk cewek-cewek baru angkatan Lila, memang Lila bidadarinya. Orangnya cantik,
putih dan tinggi lagi, perfect dah pokoknya. Tapi sepertinya bila dilihat,
kayaknya Lila terlalu tangguh, lincah dan pinter untuk ditaklukan oleh sang
play boy. Hati-hati Boy! Ini bakalan jadi batu sandungan buat lo. Lila juga
terbilang cukup menonjol dan heboh diantara temen-temennya. Apalagi kalau sudah
ngumpul maka suaranya akan lebih menonjol dan kedengeran kemana-mana.
Tapi dasar udah bergelar master play boy, akhirnya sang petualang berhasil juga
dengan perjuangannya yang mati-matian dan bisa dibilang jungkir balik, rada
susah banget memang untuk mendapatkan Lila. Akhirnya Sang play Boy berhasil
meruntuhkan tembok hati Lila, runtuh oleh rayuan maut sang play boy yang memang
sudah terkenal itu.
Ups! Tapi tunggu dulu sobat. Tadinya memang Lila belum tahu dengan Boy, tapi
karena ia sudah lama temenan dengan Ivon, sehingga ia akhirnya tahu juga siapa
Boy. Boy nggak tahu dengan situasi itu, ya karena asal seruduk aja kagak
diselidiki dulu, siapa cewek yang bakal diseruduk (yah, itu tadi kelemahan si
Boy maen seruduk aja. Kambing kali ya?) sorry Boy!.
Rupanya Sob, sang play boy sudah terperangkap dalam jeratan permainan cintanya
sendiri. Boy terperangkap ke dalam skenario sandiwara cinta yang sudah dibuat
oleh Lila. Lila memang menerima cintanya Boy, tapi ada maksud dan tujuannya.
Itu bukan berarti ia mau berkhianat dengan temennya sendiri, Ivon. Karena
skenario itu sudah ia beritahu sebelumnya kepada Ivon.
Lila yang cantik, lincah dan pintar ini, rupanya hanya ingin memberi pelajaran
ekstra kurikuler kepada sang play boy. Dia tidak ingin kecantikannya
dimanfaatkan hanya untuk dipermainkan, termasuk Ivon yang telah menjadi korbannya.
Walau terbilang anak baru, Lila termasuk cepat menyesuaikan keadaan dan peka
dengan situasi perkembangan yang ada di sekolahnya, demikian juga dengan watak
dan perilaku Boy yang sebaliknya akan menjadi korbannya. Ya, lantaran karena
dia cukup gaul, sehingga sangat cepat mendapat kabar baru atau gosip-gosip dari
teman-temannya.
Tapi secara naluriah wanita, mata hatinya tak bisa memungkiri, jika Boy
terbilang cakep sehingga layak menjadi play boy. Wajar kalau Ivon pun jatuh
cinta kepada Boy waktu itu. Cuma sayang kegantengan yang dimilkinya hanya untuk
merayu dan berpetualang guna mendapatkan cewek-cewek cantik yang ia sukai. Boy
lupa diri sehingga ia tidak tahu bahwa kaum cewek juga harus dan wajib dihargai
dan disayangi, bukan untuk dipermainkan.
”La, elo kok mau aja menerima cintanya Boy. Nekat lu!” kata Mery merasa
khawatir dan prihatin sama Lila. Wajar Mery khawatir, karena ia takut temannya
yang cantik ini hanya akan menjadi boneka mainan, korban keserakahan cinta sang
play boy.
”Terima kasih ya, Mer kamu telah mengingatkan dan menasehati aku. Aku tahu kamu
khawatir kalau aku akan menjadi korban cintanya Boy. Tapi kamu tidak usah takut
dan khawatir, aku sudah tahu kok siapa Boy sebenarnya. Aku menerima dia, bukan
lantaran kegantengannya atau rayuan gombal murahannya. Lantas aku dengan begitu
murahannya jatuh ke dalam pelukan Boy. Caranya dan rayuannya udah kuno terlalu
konvensional, mudah ditebak, sayang,” kata Lila meyakinkan sobatnya Mery.
”Syukurlah kalau kamu sudah tahu siapa dia. Aku berdo’a moga kamu tidak
terjebak dalam permainan cintanya Boy,” kata Mery lagi.
”Iya aku mengerti Sob. Tapi percayalah, sebenarnya skenario ini aku jalani ada
maksud dan tujuannya, Mer. Tapi bukan berarti aku juga mau mempermainkan orang
atau mau balas dendam sama cowok yang seperti ini, seperti yang pernah aku
alami sebelumnya (ooo ...pernah mengalami bro). Gua hanya ingin dia bisa
membuka mata dan hatinya, agar dia juga bisa menghargai kita sebagai kaum
wanita yang secara fisik lemah dan butuh perlindungan. Kita bukan boneka yang
hanya bisa dipermainkan untuk menjadi eksperimen cintanya kaum laki-laki.”
Lanjut Lila.
”Baguslah kalau kamu punya pemikiran dan prinsip yang begitu luar biasa untuk
memperjuangkan dan mempertahankan harga diri wanita,” kata Mery senang.
”Gua yakin, dia tidak akan bisa berbuat banyak dan macam-macam sama gua. Justru
dia akan terperangkap sendiri dalam permainnan ini. Biar kelak dia tahu rasa,
bagaimana rasanya kalau dipermainkan. Kuharap satu saat kelak dia nyadar telah
menyakiti hati cewek-cewek yang telah menjadi korbannya.”
Bener. Dalam tiga bulan hubungan Lila dengan Boy, apa yang dikhawatirkan oleh
Mery, benar-benar terjadi. Rupanya diam-diam Boy sedang menjalin hubungan
dengan Kania, tetangga barunya Jek. Tapi bagi Lila itu bukanlah sebuah berita
menakutkan, ibarat kesambar petir disiang bolong. Baginya itu bukan sebuah
kejutan atau petaka baginya yang harus disesali dan yang ditakutkan oleh semua
cewek. Apa yang akan terjadi kedepan semua sudah jauh ada dalam pikirannya. Itu
pasti akan terjadi cuma menunggu waktu. Dalam pikirannya justru itu adalah awal
petaka bagi Boy dan tentunya akan menambah serunya rencana permainan yang akan
dibuat oleh Lila.
Ingat Boy! Ada pepatah mengatakan sepintar-pintar tupai melompat pasti akan jatuh
juga, dan sepandai-pandai orang menyimpan kebusukan pasti akan tercium juga.
Hukum karma pasti akan ada, Boy.
Elo bukan play boy, Boy. Elo lebih tepat dibilang bajing yang bajingan. Tunggu
tanggal mainnya, lo. Semua akan berakhir, Boy. Gua akan beraksi, yang akan
bikin lo bertekuk lutut di kaki gua, bisik Lila dalam hati.
Boy yang piawai dengan rayuannya dan ditambah dengan akting sempurna, bolehlah
dibilang jagonya. Kata-katanya begitu manis dan santun dengan rayuannya akan
membuat siapapun terkena tipu dayanya. Ditambah lagi dengan kepandaiannya
mengatur strategi jitu dalam mengatur jadwal ngapel ke rumah pacar-pacarnya.
Biar nggak dicurigai, ia selalu bilang kepada cewek-ceweknya, kalau ia ngapel
nggak tergantung hanya pada malam minggu (kalau ngapelnya malam Jum’at, yasinan
aja sekalian, Boy. He...he..he). Tetapi strategi seperti itu sudah duluan
terbaca oleh Lila. (lagi-lagi terlalu konvensional, coy). Basi tau nggak!
Sehingga Lila pun kagak terlalu mikirin banget tu anak mau ngapel atau kagak,
termasuk pada malam minggu.
Melihat pertualangan sang play boy sudah over pede dan semakin menggila, karena
denger-denger lagi, dia baru aja mau mendekati seorang cewek. Gila nggak tuh!
Padahal ia belum lama menggaet si Lila (Gila bro! Lo doyan cewek apa lagi
nuntut ilmu, Boy. Harus sampe berapa sih, cewek yang harus lo dapet, biar ilmu
lo sempurna?).
Akhirnya Lila pun mulai mengatur rencana dan strategi pula buat ngerjain Boy.
Seminggu sebelum menjalankan rencananya, Lila segera menghubungi Ivon.
Sementara karena si Kania belum ia kenal, kemudian ia dan Ivon pun berusaha
mencari dan menemui Kania. Setelah Lila dan Ivon menceritakan semua rencanya
kepada Kania, mereka pun sepakat dan menjadi akrab sehingga mereka pun bersatu
untuk menumpas kejahatan (kayak di sinetron silat aja).
Beberapa hari menjelang hari eksekusi terhadap Boy, ketiga bidadari itu pun
sering berkumpul di rumah Lila dan berbagi cerita termasuk strategi nantinya.
Merekapun akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu membikin kapok dan
mempermalukan si Boy, yang emang nggak punya rasa malu.
Sabtu, sehari sebelum rencana Lila dan temen-temennya dilaksanakan, mereka
bertiga sengaja ngumpul di rumah Lila, karena hari itu rencananya Boy akan
datang ke rumah Lila.
”Sebentar lagi Boy akan datang. Ntar kalian berdua ngumpet aja dulu di kamarku
sambil nguping,” kata Lila mengatur strategi awal.
”Siplah!” jawab Kania.
”Terus langkah selanjutnya gimanah nih?” tanya Ivon pula.
”Nanti biarkan kita berdua seolah-olah enjoy dulu, ntar tugas kamu Von teleponin
si Boy. Biar dia gelisah kita kerjain. Tapi ingat ini baru sebahagian dari
rencana kita yang sebenarnya, karena rencana besar itu besok baru kita
tumpahkan,” kata Lila ngejelasin.
”Oke kalau begitu,” kata Ivon sambil mengangguk dan bersemangat.
Tak beberapa lama setelah mereka bertiga ngerumpi, akhirnya Boy pun datang
walaupun agak terlambat dari waktu yang telah dijanjikannya kepada Lila. Tapi
itu semua tidak berarti bagi Lila, dan masa bodoh ah! baginya.
”Dasar jam karet,” bentak Lila pura-pura menggerutu seolah perhatian.
”Sorry deh telat dikit,” jawab Boy seolah tanpa dosa dan pede banget. ”Oya,
gimana kalau kita keluar aja?” ajak Boy guna mengalihkah agar Lila nggak marah.
”Emangnya mau kemana?” tanya Lila asal.
”Terserah kemana, yang penting kita keluar aja,” kata Boy.
”Gua lagi males nih. Gua pingin di rumah aja,” jawab Lila penuh sandiwara.
Sementara apa yang berputar dalam otak Lila, mampus ntar lo, nayawamu tinggal
sedikit lagi, Boy.
Ketika Boy mau bicara lagi, tiba-tiba aja Hpnya berdering. Sementara dari raut
wajahnya terlihat salah tingkah dan gugup banget, karena ternyata yang
menghubunginya adalah Ivon. Gawat! Mati gue! pikirnya. Lila yang sudah tahu
sebelumnya ambil gaya berpura-pura cuek dan nggak peduli banget, karena ia
sudah tahu kalau itu dari Ivon.
”Bentar La,” kata Boy sambil meninggalkan Lila dari ruang tamu dengan penuh
gundah menuju teras rumah, karena ia takut pembicaraannya didengar Lila.
Padahal bagi Lila itu nggak penting banget.
”Halo Boy! Elo lagi dimana? Kok nggak jadi ke rumah kemaren?” tanya Ivon iseng
seolah-olah ia berharap banget. Padahal ia hanya ingin menguji kejujuran Boy
aja, walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya.
Ya nggak mungkin akan jujur orang seperti ini, abis emang sudah dari sononya
nggak pernah jujur. Janjian mau ketemu dengan Ivon aja bisa batal. Ntah
keduluan janjian dengan siapa saat itu sehingga nggak jadi ke rumah Ivon.
”Sorry ya, kemaren gua lupa. Gua sekarang lagi di rumah Jek,” jawabnya
berbohong. Sementara matanya terus mengamati Lila di dalam rumah, karena
khawatir kalau Lila nanti bisa mendengar pembicaraanya dengan Ivon. Bisa kiamat
pikirnya.
Lo nggak perlu khawatir Boy, walau Lila nggak dengar, Lila nggak bakalan
percaya sama elo. Jujur aja orang sudah kagak percaya sama elo, apalagi kalau
elo berbohong.
Tapi sayang, rupanya suara Boy terdengar juga dengan Lila. ”Busyet! Sialan!
Emang dasar buaya darat kampungan,” kata Lila ngomel sendiri dari dalam rumah.
”Elo lebih mentingin si Jek daripada kita-kita,” lanjut Lila lagi yang emang
udah geram banget sama Boy.
”Elo lebih mentingin Jek daripada gua,” jawab Ivon pula dengan asal.
”Bukan begitu, sayang. Kemaren gua lupa ngasih tahu ke elo, kalau kemaren di
rumah Jek lagi ada selamatan,” jawab Boy dengan penuh gombal kampungan. Sorry
Jek, elo jadi tempat berlindung gua, bisik hati Boy.
Sayang kentut lo! bisik hati Ivon.
”Ya udah kalau begitu, sampe ketemu,” kata Ivon menutup pembicaraan.
Tak beberapa lama kemudian, dengan penuh salah tingkah si Boy pun kembali masuk
ke dalam menemui Lila.
”Dari siapa sih?” kata Lila iseng pura-pura bertanya.
Kontan aja, mendengar pertanyaan Lila itu Boy terlihat serba salah dan salah
tingkah, ia galau dan gelisah dengan wajah penuh dusta. Mampus dah!
”Dari Jek,” jawabnya santai.
Elo gak tahu kalau gua sudah tahu semua kebohonganmu. Dasar bajingan kampung,
kata Lila ngedumel dalam hati. Lila pun kemudian diam seolah-olah percaya aja
dengan jawaban Boy barusan. Baginya yang penting tujuan untuk mengerjain Boy
harus lebih penting.
Boy yang emang sudah galau dan gelisah merasakan suasana sudah tidak nyaman,
padahal nuansa di rumah Lila lagi nyaman dan adem. Akhirnya Boy pun terasa
nggak betah dan pulang lebih cepat diluar dugaan Lila.
Keesokan harinya, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Lila, Ivon dan
Kania untuk menghabisi dan menghentikan pertualangan sang play boy, Boy. Cukup
sampe disini Boy, kata mereka bertiga.
Hari ini merupakan giliran Kania janjian ketemu dengan Boy. Mereka berdua
sepakat ketemuan di kafe tempat pertama kali mereka bertemu, tempat pertama
kali Kania menjadi korban rayuan gombalannya Boy. Boy benar-benar nggak nyadar
kalau semuanya ini sudah diatur. Boy pun nggak nyadar kalau ia sudah masuk
dalam sebuah perangkap skenario besar dari korban-korbannya sendiri.
Lila dan Ivon terlihat sedikit gelisah dan sudah tidak sabar menunggu kehadiran
Boy. Mereka memang sudah pada duluan hadir di tempat itu dan berada di tempat
yang tidak bisa dilihat oleh Boy.
Tepat pukul 20.00 wib, akhirnya Boy yang ditunggu-tunggu pun tiba langsung
menghampiri Kania. Kania pun lantas berdiri dari duduknya menyambut kedatangan
Boy.
”Sudah lama nunggunya?’” tanya Boy kepada Kania.
Basa basi doang lo! Bisik Kania dalam hati. ”Nggak, barusan aja aku disini,”
balas kania juga dengan basa basi.
Lebih kurang tiga puluh menit sudah, Boy dan Kania berada di kafe ini sambil
menikmati makanan yang mereka pesan, namun tiba-tiba aja Hp Boy berbunyi
lantaran dihubungi oleh Ivon.
”Halo, met malam, Von,” kata Boy kalem membuka pembicaraan sambil menjauh dari
Kania.
”Ya, malem,” jawab Ivon. ”Elo lagi dimana sih?” lanjut Ivon iseng bertanya.
”Gua lagi di rumah,” jawab Boy spontan.
Benar-benar bangsat, lo! Udah basi, telat lo ngelesnya! Bisik Ivon dalam hati.
”Kesini dong, gua lagi bete nih,” rayu Ivon sambil mencuil lengan Lila.
”Gua lagi capek banget, lagi males mau keluar. Sorry ya!” kata Boy pede dengan
kebohongannya.
”Ya udah kalau begitu, nggak papa,” balas Ivon.
Setelah kontaknya diputus, Ivon dan Lila pun nggak bisa menahan tawanya sambil
menutup mulutnya dengan tangan agar tidak didengar oleh Boy.
”Rasain lo, sebentar lagi dengan pembalasan kita. Waktu untuk pembinasaan lo
tinggal menghitung detik doang, Boy,” kata Ivon bicara pelan dengan Lila.
Lila dan Ivon sudah benar-benar nggak sabaran untuk menghabisi Boy. Nasib baik
lagi nggak berpihak, hukum karma sepertinya segera berlaku buat Boy. Sementara
Kania sudah gelisah menunggu kehadiran kedua temennya untuk beraksi menjalankan
skenarionya. Mereka bertiga memang sudah nggak sabaran mengacak-acak mukanya
Boy dan menyiramkan jus mengkudu busuk kesekujur tubuh Boy, yang memang sudah
mereka persiapkan dari rumah.
Malam itu merupakan malam yang naas dan apes bagi Boy. Dia harus
mempertanggujawabkan atas semua perbuatannya terhadap ketiga cewek ini.
Skenario yang diatur oleh Lila berjalan mulus. Boy yang lagi asik, tiba-tiba
aja menjadi kaget nggak karuan melihat kehadiran korban-korbannya, Lila dan
Ivon tiba-tiba datang secara bersamaan. Boy hanya terpaku diam menunggu
eksekusi. Tapi dasar play boy tengik, dia berusaha terlihat santai, seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya berkecamuk nggak karuan dan
jantungnya berdebar kencang. Mampus dah gua! Pikirnya.
”Dasar bajingan! Buaye lu! Jadi ini kerja lo selama ini?” kata Ivon berang
banget.
Lila yang nggak bicara, nggak tinggal diam. Lila lalu dengan semangatnya
menyiramkan jus mengkudu tadi ke tubuh Boy. Pyuuuuur basah. Duh! Bau banget.
Mampus deh lo, Boy!
Kania dan Ivon pun terus mencaci maki Boy habis-habisan. Lila yang sudah geram
banget, akhirnya nggak tahan juga menahan emosinya, lalu dengan spontan
menggampar muka Boy. Plaaaaaak, Boy tidak mengelak dan hanya diam.
Boy yang seperti maling ketangkap basah nggak bisa berkutik dan hanya diam dan
pasrah tanpa perlawanan apa-apa dengan perlakuan ketiga cewek tadi. Mau bicara
pun sudah nggak sanggup lagi. Mau ngeles pun sudah nggak bisa lagi. Ia seperti
orang yang sudah kehilangan akal. Ia malu banget karena belangnya selama ini
sudah ketahuan.
Dengan peristiwa itu membuat semua tamu di kafe pun tertuju kepada mereka
berempat dan membuat membuat pengunjung heboh dan tertawa sambil bertepuk
tangan melihat seorang cowok yang sudah basah kuyup menjadi bulan-bulanan tiga
orang cewek. Rasain deh, Boy!
”Cukup sudah pertualangan cinta lo sama kita, Boy,” kata Lila sambil berlalu
meninggalkan Boy berdiri sendirian.
Lila, Ivon dan Kania akhirnya pergi meninggalkan Boy sendiri. Boy pun akhirnya
dengan perasaan malu banget pulang meninggalkan kafe yang menjadi neraka
buatnya malam itu. Mimpi apa gua semalam, bisik hatinya seperti nggak percaya
dengan apa yang telah terjadi.
Selama diperjalanan, mereka bertiga melepas tawa sejadi-jadinya di dalam mobil
sedan yang dikendarai oleh Lila. Mereka pun merasa puas setelah sukses
mengerjai Boy.
Makanya Boy, jadi orang jangan sombong banget dengan kegantenganmu, sehingga
membuatmu lupa akan daratan. Kalau elo masih nggak nyadar juga, maka tunggu aja
sebuah hukum karma yang mungkin lebih besar dari malam ini akan menghampirimu
lagi. Percaya deh! Tuhan Maha Pengampun, kembalilah ke jalan yang benar, Boy.
Insyaallah.
Saturday 25 October 2014
Akhir Pertualangan Cinta Sang PlayBoy
09:01
No comments
TAMAT
0 comments:
Post a Comment